Tuesday, November 17, 2009

Kejadian Tahun 2012

Pada manuskrip peninggalan suku Maya yang dikenal menguasai ilmu falak dan sistem
penanggalan ini, disebutkan pada tanggal di atas akan muncul gelombang galaksi yang besar

sehingga mengakibatkan terhentinya semua kegiatan di muka Bumi ini.
Di luar ramalan suku Maya yang belum diketahui dasar perhitungannya, menurut Deputi Bidang
Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan), Bambang S Tedjasukmana, fenomena yang dapat diprakirakan
kemunculannya pada sekitar tahun 2011-2012 adalah badai Matahari. Prediksi ini berdasarkan
pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun 1960-an dan di
Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975.
Dijelaskan, Sri Kaloka, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, badai Matahari
terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME). Flare adalah ledakan besar di
atmosfer Matahari yang dayanya setara dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima.
Adapun CME merupakan ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel
berkecepatan 400 kilometer per detik.
Gangguan cuaca Matahari ini dapat memengaruhi kondisi muatan antariksa hingga
memengaruhi magnet Bumi, selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, transportasi yang
mengandalkan satelit navigasi global positioning system (GPS) dan sistem komunikasi yang
menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi tinggi (HF), serta dapat
membahayakan kehidupan atau kesehatan manusia. ”Karena gangguan magnet Bumi,
pengguna alat pacu jantung dapat mengalami gangguan yang berarti, ujar Sri.
Langkah antisipatif
Dari Matahari, miliaran partikel elektron sampai ke lapisan ionosfer Bumi dalam waktu empat
hari, jelas Jiyo Harjosuwito, Kepala Kelompok Peneliti Ionosfer dan Propagasi Gelombang
Radio. Dampak dari serbuan partikel elektron itu di kutub magnet Bumi berlangsung selama
beberapa hari. Selama waktu itu dapat dilakukan langkah antisipatif untuk mengurangi dampak
yang ditimbulkan.
Mengantisipasi munculnya badai antariksa itu, lanjut Bambang, Lapan tengah membangun
pusat sistem pemantau cuaca antariksa terpadu di Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan
Bandung. Obyek yang dipantau antara lain lapisan ionosfer dan geomagnetik, serta gelombang
radio. Sistem ini akan beroperasi penuh pada Januari 2009 mendatang.
Langkah antisipatif yang telah dilakukan Lapan adalah menghubungi pihak-pihak yang mungkin
akan terkena dampak dari munculnya badai antariksa, yaitu Dephankam, TNI, Dephub, PLN,
dan Depkominfo, serta pemerintah daerah. Saat ini pelatihan bagi aparat pemda yang
mengoperasikan radio HF telah dilakukan sejak lama, kini telah ada sekitar 500 orang yang
terlatih menghadapi gangguan sinyal radio.
Bambang mengimbau PLN agar melakukan langkah antisipatif dengan melakukan pemadaman sistem kelistrikan agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk. Untuk itu, sosialisasi harus
dilakukan pada masyarakat bila langkah itu akan diambil.
Selain itu, penerbangan dan pelayaran yang mengandalkan satelit GPS sebagai sistem
navigasi hendaknya menggunakan sistem manual ketika badai antariksa terjadi, dalam
memandu tinggal landas atau pendaratan pesawat terbang.
Perubahan densitas elektron akibat cuaca antariksa, jelas peneliti dari PPSA Lapan, Effendi,
dapat mengubah kecepatan gelombang radio ketika melewati ionosfer sehingga menimbulkan
delai propagasi pada sinyal GPS.
Perubahan ini mengakibatkan penyimpangan pada penentuan jarak dan posisi. Selain itu,
komponen mikroelektronika pada satelit navigasi dan komunikasi akan mengalami kerusakan
sehingga mengalami percepatan masa pakai, sehingga bisa tak berfungsi lagi.
Saat ini Lapan telah mengembangkan pemodelan perencanaan penggunaan frekuensi untuk
menghadapi gangguan tersebut untuk komunikasi radio HF. ”Saat ini tengah dipersiapkan
pemodelan yang sama untuk bidang navigasi, tutur Bambang.
Sumber : kompas.com
Ditulis oleh Qisthi

No comments:

Post a Comment